Saturday, December 21, 2013

Menggapai Kedamaian

Saat hati bergemuruh, perbanyaklah istighfar, agar terbuka hijab yang menghalangi hamparan karunia-Nya #NasihatDiri

Istighfar, memohon ampun (dan bertaubat) begitulah Allah mengajarkan.. Agar diberi-Nya nikmat sampai akhir hayat..
.
.
Hubungannya dengan kedamaian?


Bukankah kedamaian jiwa adalah nikmat terbesar?


Tak percaya?..


Bukankah banyak kita temui orang kaya yang tetap risau, orang cerdas yang bersedih hati, orang terpandang yang galau? Masihkah kita berandai-andai bahwa kualitas duniawi yang 'meningkat' akan melahirkan kedamaian jiwa?

Bukan, bukan itu yang dicari jiwa. Jiwa merindu ridho Rabb-nya, jiwa menanti uluran tangan Rabb-nya untuk melapangkannya, jiwa butuh karunia Rabb-nya atas nikmat yang dijanjikan..

Mari kita jemput nikmat yang sudah dijanjikan-Nya. (meski sungguh, nikmat yang telah ada tanpa kita jemput pun sudah sangat banyak,, segala puji bagi-Nya, Tuhan seluruh alam)

Perbanyak istighfar,
Lagi,
Lagi,
Lagi,,


Salam,
dika

---

Post Note: dalam Al Qur'an Surat Hud (11) ayat 3 dan 52, serta Surat Nuh (71) ayat 10 sampai 12, Allah menjanjikan banyak manfaat istighfar, salah satunya adalah 'akan diberi nikmat sampai waktu yang ditentukan'

Thursday, December 19, 2013

Segala Puji Bagi-Mu Ya Rabb

 

Saat kaki melangkah ke majelis ilmu dengan riang,,
Saat kata demi kata terhayati sempurna dalam keheningan,,
Saat nasihat menjelma menjadi kisah nyata dalam kedamaian,,

Tidakkah itu membahagiakan?..


.
.
.

Tapi yang begini pun sudah cukup.. Karena bahagia itu sederhana..

Tuesday, October 1, 2013

Dari Ta'aruf ke Ta'aruf

"Buseet gue dipanggil perempuaaaan" [ketawa guling-guling]

Ups, bukan kalimat thoyyibah ya itu? [tersipu-sipu] (lantas berdengung-dengung pesan ustadzah bahwa Allah ingin setiap kejadian dikomentari dengan tepat, menggunakan kalimat-kalimat thoyyibah)

Baiklah, mari dilanjutkan dengan istighfar dan tasbih. Semoga Allah mudahkan dalam menjaga lisan, tapi sungguh, kalimat itulah yang terlintas dalam benak saya saat di-address dengan kata perempuan (mungkin pertanda diri ini masih harus banyak berlatih untuk jadi salihah, atau diri ini terlalu banyak dijejali ilmu oleh guru-guru semasa sekolah yang berulang-ulang bilang bahwa wanita itu bermakna konotasi positif, dan perempuan berkonotasi negatif). Dan yes, the first time in my life to be called 'perempuan itu' (berasa dipanggil 'bitch' --euuh, lebay.., haha)

Assalamu'alaykum temans,, begitulah salah satu cuplikan saat / pasca ta'aruf yang saya alami (yes, pakai slash, karena kurang jelas juga statusnya sudah di-drop atau atau belum..). Dan ternyata, setiap proses ta'aruf itu merupakan langkah pendewasaan loo.

Hamdalah banyak, banyak, buaaanyak pelajaran yang dapat diambil dari masing-masingnya, and here are the list (biar saya ga lupa dan tetap tersenyum, bersyukur, meski saat ini masih harus berakhir lagi dari ta'aruf ke ta'aruf).

As always, I LOVE numbers, so I will present them in a numbered list [wink]:


1. Ta'aruf itu ada adabnya, nanyain 'udah makan belum' atau ngingetin 'jangan lupa tahajjud ya', BUKAN bagian dari adab ta'aruf. Hati-hati kejebak syaitan lo. Sungguh hati ini mudah terbolak-balik..

2. Orang-orang yang sok care padahal bukan mahram itu termasuk orang yang melanggar adab ta'aruf (atau adab pergaulan antar lawan jenis). Jika dia orang awam, mungkin dia belum paham hukumnya, kewajiban kita untuk mengingatkan, Alhamdulilllaah jadi ladang dakwah. Jika dia orang yang paham agama, hati-hati kemungkinan dia playboy santri (jreng jreengg).

3. Jangan berasumsi seseorang akan paham dengan kata-kata kita, susun ulang dan tanyakan lagi face to face (you'll be surprised on how the answer could be very very different, even the opposite). Penting banget buat pertanyaan atau pernyataan yang menyangkut akidah.

4. Jangan mencoba by pass tanpa perantara (apalagi kalau sengaja tidak ada perantara). Banyak godaan syaitan, bisa masuk ke khalwat loo.

5. Be honest. Just my very plain definition on honest. Don't bother to be diplomatic please, you'll get a terrible stomachache (this stomachache thing is especially true only for me [grin]).

6. Resolve your unfinished business beforehand.

7. BE CALM. People out there are really diverse [grin]

8. Sabar. You could have been waiting for a year without any single news from the other party. This is Indonesia after all. People think that news, slash, confirmation of being rejected is unimportant.

9. Don't mingle into other people past. Everyone has their own past. Respect them. Pray for their best future. Do have specific plans for the future tough. 

10. Hindari ghibah dan membicarakan aib.

12. Be firm with your standard (e.g. no lacking quality in faith, no lovey dovey thing before halal).
And so.., and so... patah hati, melembutkan hati, don't you agree? [another wink]

Barakallaahu fiikum salihah salih, wassalamu'alaykum..

Thursday, April 25, 2013

Waktu Tak Berulang

'Kullu nafsin dzaaiqotul mauut'

Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati.

Sebuah kalimat yang banyak diulang dalam Al Quran. Begitu sering kita membacanya, tapi seberapa banyak kita betul-betul sadar atas peringatan yang dibawanya..

Hari ini salah seorang ustadz besar meninggal. Dan betapa saya merasa sangat dekat dengan beliau. Entah kenapa, mungkin karena kami sama-sama ingin menyampaikan indahnya Islam, meski tentunya ilmu saya dan ilmu beliau bagaikan bumi dan langit..

Ya, beliau seorang kader dakwah. Tausiyahnya banyak bergema di seluruh penjuru negri. Berkah Allah membuat lisannya banyak menggerakkan hati anak negri..

Pun maut tetap digariskan,

Pun kita tetap berduka,

Pun kita tetap was-was,,

Beliau ustadz besar, dengan karya besar. Bagaimana dengan kita? Siapkah kita jika setelah ini, saat perjalanan pulang dari kampus, kantor, pasar, atau majelis taklim, tiba-tiba maut menjemput?

...

Hidup itu sebentar,
Waktu tak bisa diputar ulang,
Maka mari kita maksimalkan,
Mari kita semangat untuk berlelah menjemput ridho-Nya

Mari kita persiapkan bekal sebanyak-banyaknya,
Mari kita hilangkan keluh kesah,,

Karena sungguh, detik terus berjalan,
Maut makin mendekat

...

Bicara tentang maut, tentu erat kaitannya dengan waktu, karena tiap detik yang berjalan adalah pengurang umur kita. Jika Rasulullaah Shalallaahu a'alayhi wasallam menasihatkan kita untuk banyak mengingat maut, tentunya beliau juga menginginkan kita agar memperhatikan waktu..

Adalah ironis, jika di negri dengan penduduk muslim terbesar ini justru terkenal (dan terkesan bangga) dengan budaya polychronic-nya.

Ehh? Apa itu polychronic?

Poly-chronic adalah budaya di mana waktu tidak terlalu dihargai. Jam karet istilah kerennya. Deskripsi ringkas tentang polychronic bisa dibaca di sini.

Tidak mengherankan bahwa penganut jam karet akan dengan bangga berteori bahwa orang yang menganggap waktu adalah uang adalah orang yang buang-buang hidup (well, hidup itu untuk dinikmati, jika tiap detik yang terbuang dihitung sebagai uang yang terbuang, maka alangkah menderitanya hidup ini).

Wel, the thing is.. waktu tidak hanya sesimpel uang. Uang adalah sesuatu yang duniawi. Kepemilikannya hanya terbatas sampai liang lahat (we are dead, burried, and it's over: the money doesn't belong to us anymore, see?)

Tapi lebnih dari itu, waktu adalah aset kita untuk beribadah kepada Allah. Waktu adalah ladang amal kita. Waktu adalah hal yang paling berharga (it's irreplaceable, see?) yang dapat kita 'belanjakan' untuk menyiapkanbekal mati kita. Potensinya sangat besar untuk dapat memberikan manfaat hingga menembus surga.

Kenapa saya bilang begitu? Karena waktu adalah aset yang Allah berikan untuk seluruh hamba-Nya: kaya, miskin, tua, muda, sehat, sakit; selalu ada satu hal yang dapat 'dibelanjakan' - dimanfaatkan di jalan Allah, dan itulah waktu

Maka sangat ironis, jika kita sebagai ummat yang paham bahwa tiap detik akan dimintai pertanggungjawaban (pun yang selalu diingatkan untuk shalat tepat waktu), justru paling bangga dengan sikap membuang-buang (dan mengulur-ulur) waktu..

Mungkin saya terkesan sinis pada pendukung budaya jam karet, tapi mari kita merubah cara pandang kita. Jika kita yakin bahwa, dengan ketidakdisiplinan kita, kita tidak membuat orang lain membuang waktunya demi menunggu kita, dan kita dapat mempertanggungjawabkan tiap detik keterlambatan kita di yaumul hisab nanti, maka be it: you could be a blissful poly-chronic. Tapi jika tidak, percayalah, bahwa yaumul hisab itu ada.

Nah, jika kita sedang berusaha untuk berdisiplin waktu namun cukup 'pusing' dengan kebiasaan di sekitar kita yang membuat jadwal kita berantakan, mari kita asah kreatifitas kita untuk bisa tetap produktif di setiap situasi: siapkan tilawah, bacaan bermanfaat, alat merajut, atau apa pun (be creative!) sehingga tiap detik yang digunakan saat menunggu tak hanya menjadi waktu untuk berangan-angan panjang.. (it needs a practice, yes, but you'll be fine eventually..)

...
 
Kembali pada suasana duka hari ini,, Allaahumma firlahu, warhamhu 

Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau, mengasihi beliau.. (dan semoga Allah memudahkan jalan kita untuk makin bertanggung jawab dalam tiap detik yang tersisa)


Salam,
dika

Thursday, March 21, 2013

Redefining Our Life: A Happy Ending


Sudah lama saya tergelitik dengan posting seorang Ustadz mengenai mendefinisikan ulang hidup kita. In fact, saat membaca posting itu, saya sedang berjuang, meski mungkin hanya sekedar dalam hati, untuk mendefinisikan ulang hidup saya.

Definisi ulang seperti apa yang saya maksudkan? Definisi ulang yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya Shalallaahu a'alayhi wasallam

Tanpa disadari, mau ataupun tidak mau, kondisi di sekeliling kita saat ini ternyata telah mendidik kita untuk memiliki definisi yang unik mengenai hidup. Unik, karena sebagian besar tak lagi sesuai sunnah (ketentuan) - Nya. Contohnya definisi mengenai gagal dan sukses, senang dan sedih, celaka dan selamat (atau beruntung), bahagia dan merana, baik dan buruk, dan masih banyak lagi..

Misalnya: menikah berarti sukses, baik, beruntung, bahagia, dan senang (lantas cerai berarti gagal, buruk, celaka, merana, dan sedih)

Well, subyektif memang, tapi kebanyakan pasti setuju dengan pendapat itu (atau tidak setuju dengan pendapat sebaliknya), tapi mari kita lihat contoh lain yang mungkin bisa ditinjau dengan lebih obyektif, misalnya sakit dan kematian.

Secara tidak sadar kita biasa mengkaitkan sakit dan kematian dengan sesuatu yang gagal (gagal berperilaku hidup sehat), sedih, celaka, merana, dan buruk; padahal Allah tidak berpesan demikian (karena jika sakit dan kematian itu buruk, pasti Allah tidak akan menimpakannya kepasa Rasul Shalallaahu a'alayhi wasallam). Bahkan, Allah pun selalu memberi kita yang terbaik, jadi mana mungkin sakit dan kematian itu buruk?

...

Selalu ada hikmah dalam tiap musibah. Selalu ada kebaikan dalam tiap ciptaan Allah. Bukankah musibah juga ciptaan Allah?

Tiap derita yang dirasakan seorang mukmin, jika dijalani dengan sabar akan membersihkan dosa. Kebahagiaan sejati (yang berarti kemenangan sejati) adalah saat situasi yang kita alami mendekatkan kepada Allah (walau bagaimanapun buruknya situasi tersebut di hadapan mahluk). Dan musibah yang sebenearnya dalah saat iman mulai menurun dari kita (walau seindah apapun keadaan kita di hadapan mahluk).

Allah selalu berikan hikmah bagi kita yang sifatnya personal, customized, di-desain khusus untuk individu yang mendapatkan musibah tersebut. (bukankah mendesain khusus itu menandakan cinta yang amat sangat? maka masihkah kita ragu akan cinta-Nya?)

Dari sedikit renungan tersebut, sudah seharusnya kita sebagai seorang mukmin tak lagi mendefinisikan hidup kita dengan kacamata awam (bahwa musibah adalah penderitaan, kesedihan, kegagalan, dan seterusnya), apalagi mendifinisikan hidup orang lain dengan kacamata tersebut. Sungguh hanya Allah yang Maha Tahu, dan kita tak diminta Allah untuk berprasangka, pun menilai atau menghakimi orang lain.

...

Memang sulit untuk berjuang mendefinisikan ulang hidup kita saat lingkungan kita tidak mendukung. Tapi bukankah ikan di lautan bisa istiqomah untuk tidak menjadi asin meski air di sekitarnya asin?

Bismillaah tawakkaltu 'alallaah. Allahulmusta'an [another smile]


dika
inspired by this post, an fb post from an ustadz, and a lecturer today

Wednesday, February 27, 2013

Jaga Lisan: Anytime, Anywhere (yuk!)


Baru saja membaca artikel tentang pentingnya menjaga lisan (astaghfirullaah, betapa seringnya saya lupa)

Kebetulan contoh yang tergambar dalam artikel tersebut sangat sering terjadi dalam kehidupan saya: tentang jalan raya, dan segala macam hal yang ada di situ, beserta pemahaman mereka masing-masing atas peraturan dan norma keselamatan berkendaraan.

Sangat sering terjadi saat kendaraan lain tiba-tiba memotong jalan di depan kita, tanpa pertanda dan aba-aba. Saking seringnya, sebagian dari kita mungkin menganggap bersumpah serapah terhadap para pengemudi kendaraan yang kurang sopan adalah hal yang wajar, acceptable, dan tidak merendahkan derajat kita (di hadapan Allah tentunya). 'it's just a minor sin, Allah will forgive, it's normal for us to become outraged by such an annoying behavior..' (astaghfirullaah, semoga Allah membantu kita dalam menjaga lisan kita)

Padahal, jika kita kaji lebih dalam, jika kita renungkan lebih jauh: bukankah kita tidak pernah tau umur kita sampai kapan? (dan sisi ego kita tetap membantah: 'iya itu makanya, gimana kalo akibat dia motong jalan sembarangan trus kita jadi terlibat kecelakaan, dan kita kenapa-kenapa? apa gak perlu dipisuhi tu orang macam itu?')

See? Justru di situ masalahnya!

Jika momen beberapa detik kekacauan di jalan raya itu adalah momen terakhir kita di dunia,

Jika orang-orang yang main serobot di jalan raya itu menjadi salah satu jalan yang didesain Allah untuk mengambil nyawa kita,

Jika kata-kata tersebut adalah yang terakhir yang keluar dari lisan kita,

Tak inginkah kita justru mengucapkan kalimat tauhiid (daripada kalimat sumpah serapah)?

Sungguh momen-momen kekacauan di jalan raya seperti itu sangat dekat hubunganya dengan maut, maka kenapa kita justru lalai dalam menjaga kesucian lisan kita? (astaghfirullaah)

...

Kita tau bahwa seseorang itu akan dibangkitkan sesuai kondisi di mana dia meninggal. Semoga kita semua menghadap-Nya dalam keadaan bersaksi atas-Nya, dalam kondisi iman yang terbaik (dan tentunya tidak sedang dalam keadaan menghalalkan ucapan yang telah jelas dilarang Allah)

Sunday, February 24, 2013

Belajar Sabar

I guess I'll need a table in a room for studying, (since I just realized that I couldn't make friend with the mosquitoes..)

Nyamuk adalah contoh nyata dari kesabaran yang tak berbatas (salah satu pelajaran singkat dari guru saya yang masih melekat kuat di benak saya)

Mari perhatikan dia: sang nyamuk. Semangat terbang mencari rizki. Sabar berjuang meski ia tau maut menanti.

Baginya, jalan hidupnya memang berada antara hidup dan mati. Mendekati manusia untuk mencari makanan meski dengan risiko akan dibasmi. Dan dia tak pernah menyesalkan perannya yang memang sudah digariskan Allah (kita gak pernah liat ada nyamuk mogok kerja atau demo ke Allah karena manusia makin canggih -aka kejam- dalam melakukan pembantaian nyamuk kan?)

Maka di situlah letak kesabaran sejati: tak berbatas sampai ajal

Padahal (sekarang) di kehidupan nyata, sering sekali kita (maksudnya saya) dengan sok pintarnya membuat garis batas sendiri (istighfar yang banyak, sambil tersipu-sipu)

Betapa seringnya kita (maksudnya saya) ribut dan berkeluh kesah tentang sesuatu yang sudah kelewat batas (meski mungkin kadang cuma dalam hati atau bermonolog): 'ya kalo cuma gitu si gue bisa terimaa,, ini masalahnya sampe begini loo, trus gue mesti gimana cobaa?' (istighfar lagi yang banyak, sambil tetap tersipu-sipu)

Ah, batas,, Bukankah hanya Allah yang berhak menetapkan batas? Jika Allah saja Ash Shobuur dan Al Ghofuur, sedangkan sebagai mahluk-Nya kita selalu ingin mendapatkan kesabaran dan ampunan dari-Nya, masih pantaskah kita menciptakan konsep sabar sendiri?

Maka jawabannya: selama kita masih mencoba membuat garis batas kesabaran, selama itu pula kita tidak akan lulus dari ujian kesabaran.

Prepare for the worst, but if thing get worse than what we have been prepared for, ask Allah for forgiveness, and involve Him to release the burdens.

It's a process. I'm (still) trying to understand (and undergo). Insya Allah it's getting better and I'm going to master it one day.. (Alhamdulillaah, wa syukurillaah)

Mari belajar dari nyamuk, menjadikan ajal sebagai batas sabar. Insya Allah