Thursday, March 21, 2013

Redefining Our Life: A Happy Ending


Sudah lama saya tergelitik dengan posting seorang Ustadz mengenai mendefinisikan ulang hidup kita. In fact, saat membaca posting itu, saya sedang berjuang, meski mungkin hanya sekedar dalam hati, untuk mendefinisikan ulang hidup saya.

Definisi ulang seperti apa yang saya maksudkan? Definisi ulang yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya Shalallaahu a'alayhi wasallam

Tanpa disadari, mau ataupun tidak mau, kondisi di sekeliling kita saat ini ternyata telah mendidik kita untuk memiliki definisi yang unik mengenai hidup. Unik, karena sebagian besar tak lagi sesuai sunnah (ketentuan) - Nya. Contohnya definisi mengenai gagal dan sukses, senang dan sedih, celaka dan selamat (atau beruntung), bahagia dan merana, baik dan buruk, dan masih banyak lagi..

Misalnya: menikah berarti sukses, baik, beruntung, bahagia, dan senang (lantas cerai berarti gagal, buruk, celaka, merana, dan sedih)

Well, subyektif memang, tapi kebanyakan pasti setuju dengan pendapat itu (atau tidak setuju dengan pendapat sebaliknya), tapi mari kita lihat contoh lain yang mungkin bisa ditinjau dengan lebih obyektif, misalnya sakit dan kematian.

Secara tidak sadar kita biasa mengkaitkan sakit dan kematian dengan sesuatu yang gagal (gagal berperilaku hidup sehat), sedih, celaka, merana, dan buruk; padahal Allah tidak berpesan demikian (karena jika sakit dan kematian itu buruk, pasti Allah tidak akan menimpakannya kepasa Rasul Shalallaahu a'alayhi wasallam). Bahkan, Allah pun selalu memberi kita yang terbaik, jadi mana mungkin sakit dan kematian itu buruk?

...

Selalu ada hikmah dalam tiap musibah. Selalu ada kebaikan dalam tiap ciptaan Allah. Bukankah musibah juga ciptaan Allah?

Tiap derita yang dirasakan seorang mukmin, jika dijalani dengan sabar akan membersihkan dosa. Kebahagiaan sejati (yang berarti kemenangan sejati) adalah saat situasi yang kita alami mendekatkan kepada Allah (walau bagaimanapun buruknya situasi tersebut di hadapan mahluk). Dan musibah yang sebenearnya dalah saat iman mulai menurun dari kita (walau seindah apapun keadaan kita di hadapan mahluk).

Allah selalu berikan hikmah bagi kita yang sifatnya personal, customized, di-desain khusus untuk individu yang mendapatkan musibah tersebut. (bukankah mendesain khusus itu menandakan cinta yang amat sangat? maka masihkah kita ragu akan cinta-Nya?)

Dari sedikit renungan tersebut, sudah seharusnya kita sebagai seorang mukmin tak lagi mendefinisikan hidup kita dengan kacamata awam (bahwa musibah adalah penderitaan, kesedihan, kegagalan, dan seterusnya), apalagi mendifinisikan hidup orang lain dengan kacamata tersebut. Sungguh hanya Allah yang Maha Tahu, dan kita tak diminta Allah untuk berprasangka, pun menilai atau menghakimi orang lain.

...

Memang sulit untuk berjuang mendefinisikan ulang hidup kita saat lingkungan kita tidak mendukung. Tapi bukankah ikan di lautan bisa istiqomah untuk tidak menjadi asin meski air di sekitarnya asin?

Bismillaah tawakkaltu 'alallaah. Allahulmusta'an [another smile]


dika
inspired by this post, an fb post from an ustadz, and a lecturer today