'Kullu nafsin dzaaiqotul mauut'
Tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati.
Sebuah kalimat yang banyak diulang dalam Al Quran. Begitu sering kita membacanya, tapi seberapa banyak kita betul-betul sadar atas peringatan yang dibawanya..
Hari ini salah seorang ustadz besar meninggal. Dan betapa saya merasa sangat dekat dengan beliau. Entah kenapa, mungkin karena kami sama-sama ingin menyampaikan indahnya Islam, meski tentunya ilmu saya dan ilmu beliau bagaikan bumi dan langit..
Ya, beliau seorang kader dakwah. Tausiyahnya banyak bergema di seluruh penjuru negri. Berkah Allah membuat lisannya banyak menggerakkan hati anak negri..
Pun maut tetap digariskan,
Pun kita tetap berduka,
Pun kita tetap was-was,,
Beliau ustadz besar, dengan karya besar. Bagaimana dengan kita? Siapkah kita jika setelah ini, saat perjalanan pulang dari kampus, kantor, pasar, atau majelis taklim, tiba-tiba maut menjemput?
...
Hidup itu sebentar,
Waktu tak bisa diputar ulang,
Maka mari kita maksimalkan,
Mari kita semangat untuk berlelah menjemput ridho-Nya
Mari kita persiapkan bekal sebanyak-banyaknya,
Mari kita hilangkan keluh kesah,,
Karena sungguh, detik terus berjalan,
Maut makin mendekat
...
Bicara tentang maut, tentu erat kaitannya dengan waktu, karena tiap detik yang berjalan adalah pengurang umur kita. Jika Rasulullaah Shalallaahu a'alayhi wasallam menasihatkan kita untuk banyak mengingat maut, tentunya beliau juga menginginkan kita agar memperhatikan waktu..
Adalah ironis, jika di negri dengan penduduk muslim terbesar ini justru terkenal (dan terkesan bangga) dengan budaya polychronic-nya.
Ehh? Apa itu polychronic?
Poly-chronic adalah budaya di mana waktu tidak terlalu dihargai. Jam karet istilah kerennya. Deskripsi ringkas tentang polychronic bisa dibaca di sini.
Tidak mengherankan bahwa penganut jam karet akan dengan bangga berteori bahwa orang yang menganggap waktu adalah uang adalah orang yang buang-buang hidup (well, hidup itu untuk dinikmati, jika tiap detik yang terbuang dihitung sebagai uang yang terbuang, maka alangkah menderitanya hidup ini).
Wel, the thing is.. waktu tidak hanya sesimpel uang. Uang adalah sesuatu yang duniawi. Kepemilikannya hanya terbatas sampai liang lahat (we are dead, burried, and it's over: the money doesn't belong to us anymore, see?)
Tapi lebnih dari itu, waktu adalah aset kita untuk beribadah kepada Allah. Waktu adalah ladang amal kita. Waktu adalah hal yang paling berharga (it's irreplaceable, see?) yang dapat kita 'belanjakan' untuk menyiapkanbekal mati kita. Potensinya sangat besar untuk dapat memberikan manfaat hingga menembus surga.
Kenapa saya bilang begitu? Karena waktu adalah aset yang Allah berikan untuk seluruh hamba-Nya: kaya, miskin, tua, muda, sehat, sakit; selalu ada satu hal yang dapat 'dibelanjakan' - dimanfaatkan di jalan Allah, dan itulah waktu
Maka sangat ironis, jika kita sebagai ummat yang paham bahwa tiap detik akan dimintai pertanggungjawaban (pun yang selalu diingatkan untuk shalat tepat waktu), justru paling bangga dengan sikap membuang-buang (dan mengulur-ulur) waktu..
Mungkin saya terkesan sinis pada pendukung budaya jam karet, tapi mari kita merubah cara pandang kita. Jika kita yakin bahwa, dengan ketidakdisiplinan kita, kita tidak membuat orang lain membuang waktunya demi menunggu kita, dan kita dapat mempertanggungjawabkan tiap detik keterlambatan kita di yaumul hisab nanti, maka be it: you could be a blissful poly-chronic. Tapi jika tidak, percayalah, bahwa yaumul hisab itu ada.
Nah, jika kita sedang berusaha untuk berdisiplin waktu namun cukup 'pusing' dengan kebiasaan di sekitar kita yang membuat jadwal kita berantakan, mari kita asah kreatifitas kita untuk bisa tetap produktif di setiap situasi: siapkan tilawah, bacaan bermanfaat, alat merajut, atau apa pun (be creative!) sehingga tiap detik yang digunakan saat menunggu tak hanya menjadi waktu untuk berangan-angan panjang.. (it needs a practice, yes, but you'll be fine eventually..)
...
Kembali pada suasana duka hari ini,, Allaahumma firlahu, warhamhu
Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau, mengasihi beliau.. (dan semoga Allah memudahkan jalan kita untuk makin bertanggung jawab dalam tiap detik yang tersisa)
Salam,
dika